La vida nos

Sabtu, 17 April 2010

Surakarta


A. Sejarah Kebudayaan di Surakarta
1. Pendahuluan
Kota Surakarta adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Kota ini juga dikenal dengan nama Solo, Sala, dan Salakarta. Nama yang terakhir tidak dipakai lagi. Di Indonesia, Surakarta merupakan kota peringkat kesepuluh terbesar (setelah Yogyakarta). Sisi timur kota ini dilewati sungai yang terabadikan dalam salah satu lagu keroncong, Bengawan Solo. Kota ini dulu juga tempat kedudukan dari residen, yang membawahi Karesidenan Surakarta di masa awal kemerdekaan. Jabatan residen sekarang dihapuskan dan diganti menjadi pembantu gubernur untuk wilayah Surakarta. Kota Surakarta memiliki semboyan BERSERI yang merupakan akronim dari Bersih, Sehat, Rapi, dan Indah. Untuk kepentingan pemasaran pariwisata, Solo mengambil slogan pariwisata Solo the Spirit of Java yang diharapkan bisa membangun citra kota Solo sebagai pusat kebudayaan Jawa.
2. Sejarah Kebudayaan di Surakarta
a. Masa awal dan pra-Republik
Kota Surakarta didirikan pada tahun 1745, ditandai dengan dimulai pembangunan Keraton Mataram sebagai ganti keraton di Kartasura yang hancur akibat pemberontakan orang-orang Tionghoa melawan kekuasaan Paku Buwono (PB) II yang bertakhta di Kartasura pada tahun 1742. Pemberontakan ini bahkan mengakibatkan PB II menyingkir ke Ponorogo, Jawa Timur.
Dengan bantuan VOC, pemberontakan dapat ditumpas dan Kartasura direbut kembali, tapi keraton sudah hancur dan dianggap tercemar. Sunan Paku Buwono II lalu memerintahkan Tumenggung Honggowongso dan Tumenggung Mangkuyudo serta komandan pasukan Belanda J.A.B. van Hohendorff untuk mencari lokasi ibu kota Kesultanan Mataram yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, pada 1745, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo. Kelak namanya berubah menjadi Surakarta. Pembangunan keraton baru ini menurut catatan menggunakan bahan kayu jati dari kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri Kota dan kayunya dihanyutkan melalui sungai. Secara resmi, keraton mulai ditempati tanggal 17 Februari 1745 (Rabu Pahing 14 Sura 1670 Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya).
Berlakunya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) menyebabkan Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan rajanya PB III. Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, dengan rajanya Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono (HB) I). Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun pada 1755, dengan pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun.
Perjanjian Salatiga 1757 memperluas wilayah kota ini, dengan diberikannya wilayah sebelah utara keraton kepada pihak Pangeran Sambernyawa (Mangkoe Nagoro I). Sejak saat itu, Sala merupakan kota dengan dua sistem administrasi, yang berlaku hingga 1945, pada masa Perang Kemerdekaan Republik Indonesia (RI).
b. Masa Perang Kemerdekaan 1945-1949
Situasi di Solo (dan wilayah pengaruhnya) pada masa ini sangat menyedihkan. Terjadi sejumlah peristiwa politik yang menjadikan wilayah Solo kehilangan hak otonominya.
c. D.I. Surakarta dan Pemberontakan Tan Malaka
Begitu mendengar pengumuman tentang kemerdekaan RI, pemimpin Mangkunegaran (Mangkoe Nagoro VIII dan Susuhunan Sala (Paku Buwana XII) mengirim kabar dukungan ke Presiden RI Soekarno dan menyatakan bahwa wilayah Surakarta (Mangkunegaran dan Kasunanan) adalah bagian dari RI. Sebagai reaksi atas pengakuan ini, Presiden RI Soekarno menetapkan pembentukan propinsi Daerah Istimewa Surakarta (DIS).
Pada Oktober 1945, terbentuk gerakan swapraja/anti-monarki/anti-feodal di Surakarta, yang salah satu pimpinannya adalah Tan Malaka, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI). Tujuan gerakan ini adalah membubarkan DIS, dan menghapus Mangkunegaran dan Kasunanan. Gerakan ini di kemudian hari dikenal sebagai Pemberontakan Tan Malaka. Motif lain adalah perampasan tanah-tanah pertanian yang dikuasai kedua monarki untuk dibagi-bagi ke petani oleh gerakan komunis.
Tanggal 17 Oktober 1945, wazir (penasihat raja) Susuhunan, KRMH Sosrodiningrat diculik dan dibunuh oleh gerakan Swapraja. Hal ini diikuti oleh pencopotan bupati-bupati di wilayah Surakarta yang merupakan kerabat Mangkunegara dan Susuhunan. Bulan Maret 1946, wazir yang baru, KRMT Yudonagoro, juga diculik dan dibunuh gerakan Swapraja. Pada bulan April 1946, sembilan pejabat Kepatihan juga mengalami hal yang sama.
Karena banyaknya kerusuhan, penculikan, dan pembunuhan, maka tanggal 16 Juni 1946 pemerintah RI membubarkan DIS dan menghilangkan kekuasaan politik Mangkunegaran dan Kasunanan. Sejak saat itu keduanya kehilangan hak otonom menjadi suatu keluarga/trah biasa dan keraton/istana berubah fungsi sebagai tempat pengembangan seni dan budaya Jawa. Keputusan ini juga mengawali kota Solo di bawah satu administrasi. Selanjutnya dibentuk Karesidenan Surakarta yang mencakup wilayah-wilayah Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran, termasuk kota swapraja Surakarta. Tanggal 16 Juni diperingati setiap tahun sebagai hari kelahiran kota Surakarta.
Tanggal 26 Juni 1946 terjadi penculikan terhadap Perdana Menteri Sutan Syahrir di Surakarta oleh sebuah kelompok pemberontak yang dipimpin oleh Mayor Jendral Soedarsono dan 14 pimpinan sipil, di antaranya Tan Malaka, dari Partai Komunis Indonesia. Perdana Menteri Syahrir ditahan di suatu rumah peristirahatan di Paras. Presiden Soekarno sangat marah atas aksi pemberontakan ini dan memerintahkan polisi Surakarta menangkap para pimpinan pemberontak. Tanggal 1 Juli 1946, ke-14 pimpinan berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan. Namun, pada tanggal 2 Juli 1946, tentara Divisi 3 yang dipimpin Mayor Jendral Soedarsono menyerbu penjara Wirogunan dan membebaskan ke-14 pimpinan pemberontak.
Presiden Soekarno lalu memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto, pimpinan tentara di Surakarta, untuk menangkap Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak. Namun demikian Soeharto menolak perintah ini karena dia tidak mau menangkap pimpinan/atasannya sendiri. Beliau hanya mau menangkap para pemberontak kalau ada perintah langsung dari Kepala Staf militer RI, Jendral Soedirman. Presiden Soekarno sangat marah atas penolakan ini dan menjuluki Letkol Soeharto sebagai perwira keras kepala.
Tanggal 3 Juli 1946, Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil dilucuti senjatanya dan ditangkap di dekat Istana Presiden di Yogyakarta oleh pasukan pengawal presiden, setelah Letkol Soeharto berhasil membujuk mereka untuk menghadap Presiden Soekarno. Peristiwa ini lalu dikenal sebagai pemberontakan 3 Juli 1946 yang gagal. Perdana Menteri Syahrir berhasil dibebaskan dan Mayjen Soedarsono serta pimpinan pemberontak dihukum penjara walaupun beberapa bulan kemudian para pemberontak diampuni oleh Presiden Soekarno dan dibebaskan dari penjara.
d. Serangan Umum 7 Agustus 1949
Dari tahun 1945 sampai 1948, Belanda berhasil menguasai kembali sebagian besar wilayah Indonesia (termasuk Jawa), kecuali Yogyakarta, Surakarta dan daerah-daerah sekitarnya.
Pada Desember 1948, Belanda menyerbu wilayah RI yang tersisa, mendudukinya dan menyatakan RI sudah hancur dan tidak ada lagi. Jendral Soedirman menolak menyerah dan mulai bergerilya di hutan-hutan dan desa-desa di sekitar kota Yogyakarta dan Surakarta.
Untuk membantah klaim Belanda, maka Jendral Soedirman merencanakan Serangan Oemoem yaitu serangan besar-besaran yang bertujuan menduduki kota Yogyakarta dan Surakarta selama beberapa jam. Serangan Oemoem di Surakarta terjadi pada tanggal 7 Agustus 1949 dipimpin oleh Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Untuk memperingati peristiwa ini maka jalan utama di kota Surakarta dinamakan Jalan Slamet Riyadi.
Kepemimpinan Slamet Riyadi (yang gugur di pertempuran melawan gerakan separatis RMS) pada Serangan Umum ini sangat mengejutkan pimpinan tentara Belanda, yang sempat berkata Slamet Riyadi lebih pantas menjadi anaknya, ketika acara penyerahan kota Surakarta.
3. Geografi
Kota Surakarta terletak sekitar 65 km timur laut Yogyakarta dan 100 km tenggara Semarang. Lokasi kota ini berada di dataran rendah (hampir 100 m di atas permukaan laut) yang diapit Gunung Merapi di barat dan Gunung Lawu di timur. Agak jauh di selatan terbentang Pegunungan Sewu. Di sebelah timur mengalir Bengawan Solo dan di bagian utara mengalir Kali Pepe yang merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai Solo.
Tanah di Surakarta bersifat pasiran dengan komposisi mineral muda yang tinggi sebagai akibat aktivitas vulkanik kedua gunung api yang telah disebutkan di atas. Komposisi ini, ditambah dengan ketersediaan air yang cukup melimpah, menyebabkan dataran rendah ini sangat baik untuk budidaya tanaman pangan, sayuran, dan industri, seperti tembakau dan tebu. Namun demikian, sejak 20 tahun terakhir industri manufaktur dan pariwisata berkembang pesat sehingga banyak terjadi perubahan peruntukan lahan untuk kegiatan industri dan perumahan penduduk.
Surakarta berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah timur dan barat, dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah selatan.
4. Pembagian Administratif
Surakarta dibagi menjadi lima kecamatan. Setiap kecamatan dibagi menjadi kelurahan, lalu setiap kelurahan dibagi menjadi kampung-kampung yang kurang lebih setara dengan Rukun Warga.
Kecamatan di Surakarta:
a. Kecamatan Banjarsari
b. Kecamatan Jebres
c. Kecamatan Laweyan
d. Kecamatan Pasar Kliwon
e. Kecamatan Serengan
Surakarta dan kota-kota satelitnya (Kartasura, Solo Baru, Palur, Colomadu, Baki, Ngemplak) adalah kawasan yang saling berintegrasi satu sama lain. Kawasan Solo Raya ini unik karena dengan luas kota Surakarta sendiri yang hanya 44 km2 dan dikelilingi kota-kota penyangganya yang masing-masing luasnya kurang lebih setengah dari luas kota Surakarta dan berbatasan langsung membentuk satu kesatuan kawasan kota besar yang terpusat.

B. Macam-macam Kebudayaan di Surakarta
a. Batik
Batik berasal dari Jawa. Kata batik berasal dari 2 kata bahasa jawa, yaitu amba yang berarti menulis dan titik yang berarti titik. Jadi, batik berarti menuliskan titik. Batik berdasarkan cara pembuatannya ada 3 macam, yaitu batik tulis, batik cap, dan batik print. Cara pembuatan batik cap yaitu dengan meletakkan lilin di atas kain, tidak dengan canting, tapi dengan cap dari tembaga. Sedangkan cara pembuatan batik tulis:
1. Tahap pertama dari pembuatan batik yaitu ngetel/ngloyor. Kain dicuci dengan kanji perekat, kemudian diremas serta direndam dalam minyak jarak atau minyak kacang. Kemudian dijemur dan direndam lagi, lalu dijemur lagi.
2. Lalu, sesudah tahap pertama dilakukan ada tahap ngrengreng, yaitu ketika gambaran pertama dengan lilin cair dilukis di atas kain. Pembatik duduk di muka kain yang sedang dikerjakannya, menggoreskan canting yang mengalirkan lilin panas yang digoreskan sesuai dengan pola yang telah digambarkan. Karena itu, suhu lilin harus diatur benar supaya cairan lilin bisa mengalir dengan tepat. Kemudian nembok, yaitu bagian-bagian yang tidak boleh kena warna dasar, dengan lapisan lilin.
3. Selanjutnya dilakukan medel, yaitu pencelupan yang disertai dengan penjemuran dengan bantuan panas matahari. Setelah itu dilakukan ngesik/nglorod, yaitu membuang lilin dari bagian-bagian yang akan diberi warna soga (sawo matang) dengan cara memasukkan kain ke dalam air yang mendidih hingga lilinnya mencair kembali.
4. Tahap mbironi adalah tahap ketika bagian yang telah mendapat warna biru dan yang tidak boleh terkena soga ditutup lagi dengan lilin. Bagian yang ditutup dengan lilin ini juga diteruskan di bagian dalam kain. Setelah itu baru dilakukan menyoga, yaitu mencelup ke dalam zat berwarna coklat.
5. Setelah pencelupan dalam soga, maka kain siap dengan pemberian warnanya, dan seluruh lilin dapat dibuang.
Surakarta memiliki banyak corak batik khas, seperti Sidomukti dan Sidoluruh. Motif batik Sidomukti diciptakan dengan sebuah harapan dan doa agar si pemakai menjadi mukti atau mulia. Sementara itu, motif batik Sidoluhur dimaksudkan agar si pemakai senantiasa memliki pekerti yang luhur.

Gambar 1.1 motif batik Sidomukti Gambar 1.2 motif batik Sidoluhur
Pusat perdagangan batik Surakarta berada di Pasar Klewer.
b. Karawitan
Karawitan berasal dari kata rawit yang berarti halus, indah, atau rumit. Dalam bahasa jawa, kata karawitan khususnya dipakai untuk mengacu pada musik gamelan. Karawitan adalah seni suara yang bersistem slendro dan pelog baik vokal maupun instrumental.
Karawitan dibedakan menjadi 3, yaitu:
1. Karawitan Vokal
Vokal yaitu seni suara yang menggunakan suara manusia. Yang menghidangkan vokal dinamakan vokalis. Di dalam karawitan, vokalis pria disebut wiraswara, sedangkan vokalis wanita disebut swarawati atau pesindhen.
2. Karawitan instrumental
Instrumen dalam karawitan disebut ricikan. Kumpulan atau penyatuan ricikan-ricikan yang terdapat dalam karawitan tanpa memisahkan satu dengan lainnya disebut gamelan. Karawitan instrumental dibagi menjadi 2, yatu pakurmatan dan bonangan.
3. Karawitan vokal dan instrumental
Paduan atau campuran antara vokal dan instrumental dalam karawitan, disebut juga karawitan campuran. Di dalam karawitan campuran ini, vokal dan instrumental mempunyai kedudukan yang sama pentingnya, tidak boleh salah satunya lebih menonjol agar menghasilkan hidangan karawitan yang benar-benar kompak. Contohnya klenengan, iringan tari, iringan pedhalangan, dan sebagainya.
 Fungsi gamelan
1. Pamurba irama (pemimpin irama)
Artinya yang mengatur jalannya irama mulai buka sampai dengan suwuk (berhenti). Rincikan gamelannya adalah kendhang.
2. Pamurba lagu (pemimpin lagu)
Artinya ricikan gamelan yang bertugas untuk menentukan bagian lagu yang harus disajikan oleh ricikan gamelan lainnya. Ricikan gamelannya rebab dan bonang barung.
3. Pemangku irama (pemantap irama)
Artinya ricikan gamelan yang mendukung jalannya irama mengikuti alur irama dari kendhang. Ricikan gamelannya kethuk, kempyang, kenong, kempul, gong, dan kecer.
4. Pemangku lagu
Artinya ricikan gamelan yang mendukung lagu atau melodi yang disajikan. Ricikan gamelannya gender barung, gender penerus, bonang penerus, slenthem, demung, saron barung, saron penerus, gambang, clempung/siter, dan suling.
5. Pengisi lagu
 Macam-macam instrumen gamelan
A. Sejarah Kebudayaan di Surakarta
1. Pendahuluan
Kota Surakarta adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Kota ini juga dikenal dengan nama Solo, Sala, dan Salakarta. Nama yang terakhir tidak dipakai lagi. Di Indonesia, Surakarta merupakan kota peringkat kesepuluh terbesar (setelah Yogyakarta). Sisi timur kota ini dilewati sungai yang terabadikan dalam salah satu lagu keroncong, Bengawan Solo. Kota ini dulu juga tempat kedudukan dari residen, yang membawahi Karesidenan Surakarta di masa awal kemerdekaan. Jabatan residen sekarang dihapuskan dan diganti menjadi pembantu gubernur untuk wilayah Surakarta. Kota Surakarta memiliki semboyan BERSERI yang merupakan akronim dari Bersih, Sehat, Rapi, dan Indah. Untuk kepentingan pemasaran pariwisata, Solo mengambil slogan pariwisata Solo the Spirit of Java yang diharapkan bisa membangun citra kota Solo sebagai pusat kebudayaan Jawa.
2. Sejarah Kebudayaan di Surakarta
a. Masa awal dan pra-Republik
Kota Surakarta didirikan pada tahun 1745, ditandai dengan dimulai pembangunan Keraton Mataram sebagai ganti keraton di Kartasura yang hancur akibat pemberontakan orang-orang Tionghoa melawan kekuasaan Paku Buwono (PB) II yang bertakhta di Kartasura pada tahun 1742. Pemberontakan ini bahkan mengakibatkan PB II menyingkir ke Ponorogo, Jawa Timur.
Dengan bantuan VOC, pemberontakan dapat ditumpas dan Kartasura direbut kembali, tapi keraton sudah hancur dan dianggap tercemar. Sunan Paku Buwono II lalu memerintahkan Tumenggung Honggowongso dan Tumenggung Mangkuyudo serta komandan pasukan Belanda J.A.B. van Hohendorff untuk mencari lokasi ibu kota Kesultanan Mataram yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, pada 1745, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo. Kelak namanya berubah menjadi Surakarta. Pembangunan keraton baru ini menurut catatan menggunakan bahan kayu jati dari kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri Kota dan kayunya dihanyutkan melalui sungai. Secara resmi, keraton mulai ditempati tanggal 17 Februari 1745 (Rabu Pahing 14 Sura 1670 Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya).
Berlakunya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) menyebabkan Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan rajanya PB III. Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, dengan rajanya Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono (HB) I). Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun pada 1755, dengan pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun.
Perjanjian Salatiga 1757 memperluas wilayah kota ini, dengan diberikannya wilayah sebelah utara keraton kepada pihak Pangeran Sambernyawa (Mangkoe Nagoro I). Sejak saat itu, Sala merupakan kota dengan dua sistem administrasi, yang berlaku hingga 1945, pada masa Perang Kemerdekaan Republik Indonesia (RI).
b. Masa Perang Kemerdekaan 1945-1949
Situasi di Solo (dan wilayah pengaruhnya) pada masa ini sangat menyedihkan. Terjadi sejumlah peristiwa politik yang menjadikan wilayah Solo kehilangan hak otonominya.
c. D.I. Surakarta dan Pemberontakan Tan Malaka
Begitu mendengar pengumuman tentang kemerdekaan RI, pemimpin Mangkunegaran (Mangkoe Nagoro VIII dan Susuhunan Sala (Paku Buwana XII) mengirim kabar dukungan ke Presiden RI Soekarno dan menyatakan bahwa wilayah Surakarta (Mangkunegaran dan Kasunanan) adalah bagian dari RI. Sebagai reaksi atas pengakuan ini, Presiden RI Soekarno menetapkan pembentukan propinsi Daerah Istimewa Surakarta (DIS).
Pada Oktober 1945, terbentuk gerakan swapraja/anti-monarki/anti-feodal di Surakarta, yang salah satu pimpinannya adalah Tan Malaka, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI). Tujuan gerakan ini adalah membubarkan DIS, dan menghapus Mangkunegaran dan Kasunanan. Gerakan ini di kemudian hari dikenal sebagai Pemberontakan Tan Malaka. Motif lain adalah perampasan tanah-tanah pertanian yang dikuasai kedua monarki untuk dibagi-bagi ke petani oleh gerakan komunis.
Tanggal 17 Oktober 1945, wazir (penasihat raja) Susuhunan, KRMH Sosrodiningrat diculik dan dibunuh oleh gerakan Swapraja. Hal ini diikuti oleh pencopotan bupati-bupati di wilayah Surakarta yang merupakan kerabat Mangkunegara dan Susuhunan. Bulan Maret 1946, wazir yang baru, KRMT Yudonagoro, juga diculik dan dibunuh gerakan Swapraja. Pada bulan April 1946, sembilan pejabat Kepatihan juga mengalami hal yang sama.
Karena banyaknya kerusuhan, penculikan, dan pembunuhan, maka tanggal 16 Juni 1946 pemerintah RI membubarkan DIS dan menghilangkan kekuasaan politik Mangkunegaran dan Kasunanan. Sejak saat itu keduanya kehilangan hak otonom menjadi suatu keluarga/trah biasa dan keraton/istana berubah fungsi sebagai tempat pengembangan seni dan budaya Jawa. Keputusan ini juga mengawali kota Solo di bawah satu administrasi. Selanjutnya dibentuk Karesidenan Surakarta yang mencakup wilayah-wilayah Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran, termasuk kota swapraja Surakarta. Tanggal 16 Juni diperingati setiap tahun sebagai hari kelahiran kota Surakarta.
Tanggal 26 Juni 1946 terjadi penculikan terhadap Perdana Menteri Sutan Syahrir di Surakarta oleh sebuah kelompok pemberontak yang dipimpin oleh Mayor Jendral Soedarsono dan 14 pimpinan sipil, di antaranya Tan Malaka, dari Partai Komunis Indonesia. Perdana Menteri Syahrir ditahan di suatu rumah peristirahatan di Paras. Presiden Soekarno sangat marah atas aksi pemberontakan ini dan memerintahkan polisi Surakarta menangkap para pimpinan pemberontak. Tanggal 1 Juli 1946, ke-14 pimpinan berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan. Namun, pada tanggal 2 Juli 1946, tentara Divisi 3 yang dipimpin Mayor Jendral Soedarsono menyerbu penjara Wirogunan dan membebaskan ke-14 pimpinan pemberontak.
Presiden Soekarno lalu memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto, pimpinan tentara di Surakarta, untuk menangkap Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak. Namun demikian Soeharto menolak perintah ini karena dia tidak mau menangkap pimpinan/atasannya sendiri. Beliau hanya mau menangkap para pemberontak kalau ada perintah langsung dari Kepala Staf militer RI, Jendral Soedirman. Presiden Soekarno sangat marah atas penolakan ini dan menjuluki Letkol Soeharto sebagai perwira keras kepala.
Tanggal 3 Juli 1946, Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil dilucuti senjatanya dan ditangkap di dekat Istana Presiden di Yogyakarta oleh pasukan pengawal presiden, setelah Letkol Soeharto berhasil membujuk mereka untuk menghadap Presiden Soekarno. Peristiwa ini lalu dikenal sebagai pemberontakan 3 Juli 1946 yang gagal. Perdana Menteri Syahrir berhasil dibebaskan dan Mayjen Soedarsono serta pimpinan pemberontak dihukum penjara walaupun beberapa bulan kemudian para pemberontak diampuni oleh Presiden Soekarno dan dibebaskan dari penjara.
d. Serangan Umum 7 Agustus 1949
Dari tahun 1945 sampai 1948, Belanda berhasil menguasai kembali sebagian besar wilayah Indonesia (termasuk Jawa), kecuali Yogyakarta, Surakarta dan daerah-daerah sekitarnya.
Pada Desember 1948, Belanda menyerbu wilayah RI yang tersisa, mendudukinya dan menyatakan RI sudah hancur dan tidak ada lagi. Jendral Soedirman menolak menyerah dan mulai bergerilya di hutan-hutan dan desa-desa di sekitar kota Yogyakarta dan Surakarta.
Untuk membantah klaim Belanda, maka Jendral Soedirman merencanakan Serangan Oemoem yaitu serangan besar-besaran yang bertujuan menduduki kota Yogyakarta dan Surakarta selama beberapa jam. Serangan Oemoem di Surakarta terjadi pada tanggal 7 Agustus 1949 dipimpin oleh Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Untuk memperingati peristiwa ini maka jalan utama di kota Surakarta dinamakan Jalan Slamet Riyadi.
Kepemimpinan Slamet Riyadi (yang gugur di pertempuran melawan gerakan separatis RMS) pada Serangan Umum ini sangat mengejutkan pimpinan tentara Belanda, yang sempat berkata Slamet Riyadi lebih pantas menjadi anaknya, ketika acara penyerahan kota Surakarta.
3. Geografi
Kota Surakarta terletak sekitar 65 km timur laut Yogyakarta dan 100 km tenggara Semarang. Lokasi kota ini berada di dataran rendah (hampir 100 m di atas permukaan laut) yang diapit Gunung Merapi di barat dan Gunung Lawu di timur. Agak jauh di selatan terbentang Pegunungan Sewu. Di sebelah timur mengalir Bengawan Solo dan di bagian utara mengalir Kali Pepe yang merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai Solo.
Tanah di Surakarta bersifat pasiran dengan komposisi mineral muda yang tinggi sebagai akibat aktivitas vulkanik kedua gunung api yang telah disebutkan di atas. Komposisi ini, ditambah dengan ketersediaan air yang cukup melimpah, menyebabkan dataran rendah ini sangat baik untuk budidaya tanaman pangan, sayuran, dan industri, seperti tembakau dan tebu. Namun demikian, sejak 20 tahun terakhir industri manufaktur dan pariwisata berkembang pesat sehingga banyak terjadi perubahan peruntukan lahan untuk kegiatan industri dan perumahan penduduk.
Surakarta berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah timur dan barat, dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah selatan.
4. Pembagian Administratif
Surakarta dibagi menjadi lima kecamatan. Setiap kecamatan dibagi menjadi kelurahan, lalu setiap kelurahan dibagi menjadi kampung-kampung yang kurang lebih setara dengan Rukun Warga.
Kecamatan di Surakarta:
a. Kecamatan Banjarsari
b. Kecamatan Jebres
c. Kecamatan Laweyan
d. Kecamatan Pasar Kliwon
e. Kecamatan Serengan
Surakarta dan kota-kota satelitnya (Kartasura, Solo Baru, Palur, Colomadu, Baki, Ngemplak) adalah kawasan yang saling berintegrasi satu sama lain. Kawasan Solo Raya ini unik karena dengan luas kota Surakarta sendiri yang hanya 44 km2 dan dikelilingi kota-kota penyangganya yang masing-masing luasnya kurang lebih setengah dari luas kota Surakarta dan berbatasan langsung membentuk satu kesatuan kawasan kota besar yang terpusat.

B. Macam-macam Kebudayaan di Surakarta
a. Batik
Batik berasal dari Jawa. Kata batik berasal dari 2 kata bahasa jawa, yaitu amba yang berarti menulis dan titik yang berarti titik. Jadi, batik berarti menuliskan titik. Batik berdasarkan cara pembuatannya ada 3 macam, yaitu batik tulis, batik cap, dan batik print. Cara pembuatan batik cap yaitu dengan meletakkan lilin di atas kain, tidak dengan canting, tapi dengan cap dari tembaga. Sedangkan cara pembuatan batik tulis:
1. Tahap pertama dari pembuatan batik yaitu ngetel/ngloyor. Kain dicuci dengan kanji perekat, kemudian diremas serta direndam dalam minyak jarak atau minyak kacang. Kemudian dijemur dan direndam lagi, lalu dijemur lagi.
2. Lalu, sesudah tahap pertama dilakukan ada tahap ngrengreng, yaitu ketika gambaran pertama dengan lilin cair dilukis di atas kain. Pembatik duduk di muka kain yang sedang dikerjakannya, menggoreskan canting yang mengalirkan lilin panas yang digoreskan sesuai dengan pola yang telah digambarkan. Karena itu, suhu lilin harus diatur benar supaya cairan lilin bisa mengalir dengan tepat. Kemudian nembok, yaitu bagian-bagian yang tidak boleh kena warna dasar, dengan lapisan lilin.
3. Selanjutnya dilakukan medel, yaitu pencelupan yang disertai dengan penjemuran dengan bantuan panas matahari. Setelah itu dilakukan ngesik/nglorod, yaitu membuang lilin dari bagian-bagian yang akan diberi warna soga (sawo matang) dengan cara memasukkan kain ke dalam air yang mendidih hingga lilinnya mencair kembali.
4. Tahap mbironi adalah tahap ketika bagian yang telah mendapat warna biru dan yang tidak boleh terkena soga ditutup lagi dengan lilin. Bagian yang ditutup dengan lilin ini juga diteruskan di bagian dalam kain. Setelah itu baru dilakukan menyoga, yaitu mencelup ke dalam zat berwarna coklat.
5. Setelah pencelupan dalam soga, maka kain siap dengan pemberian warnanya, dan seluruh lilin dapat dibuang.
Surakarta memiliki banyak corak batik khas, seperti Sidomukti dan Sidoluruh. Motif batik Sidomukti diciptakan dengan sebuah harapan dan doa agar si pemakai menjadi mukti atau mulia. Sementara itu, motif batik Sidoluhur dimaksudkan agar si pemakai senantiasa memliki pekerti yang luhur.

Gambar 1.1 motif batik Sidomukti Gambar 1.2 motif batik Sidoluhur
Pusat perdagangan batik Surakarta berada di Pasar Klewer.
b. Karawitan
Karawitan berasal dari kata rawit yang berarti halus, indah, atau rumit. Dalam bahasa jawa, kata karawitan khususnya dipakai untuk mengacu pada musik gamelan. Karawitan adalah seni suara yang bersistem slendro dan pelog baik vokal maupun instrumental.
Karawitan dibedakan menjadi 3, yaitu:
1. Karawitan Vokal
Vokal yaitu seni suara yang menggunakan suara manusia. Yang menghidangkan vokal dinamakan vokalis. Di dalam karawitan, vokalis pria disebut wiraswara, sedangkan vokalis wanita disebut swarawati atau pesindhen.
2. Karawitan instrumental
Instrumen dalam karawitan disebut ricikan. Kumpulan atau penyatuan ricikan-ricikan yang terdapat dalam karawitan tanpa memisahkan satu dengan lainnya disebut gamelan. Karawitan instrumental dibagi menjadi 2, yatu pakurmatan dan bonangan.
3. Karawitan vokal dan instrumental
Paduan atau campuran antara vokal dan instrumental dalam karawitan, disebut juga karawitan campuran. Di dalam karawitan campuran ini, vokal dan instrumental mempunyai kedudukan yang sama pentingnya, tidak boleh salah satunya lebih menonjol agar menghasilkan hidangan karawitan yang benar-benar kompak. Contohnya klenengan, iringan tari, iringan pedhalangan, dan sebagainya.
 Fungsi gamelan
1. Pamurba irama (pemimpin irama)
Artinya yang mengatur jalannya irama mulai buka sampai dengan suwuk (berhenti). Rincikan gamelannya adalah kendhang.
2. Pamurba lagu (pemimpin lagu)
Artinya ricikan gamelan yang bertugas untuk menentukan bagian lagu yang harus disajikan oleh ricikan gamelan lainnya. Ricikan gamelannya rebab dan bonang barung.
3. Pemangku irama (pemantap irama)
Artinya ricikan gamelan yang mendukung jalannya irama mengikuti alur irama dari kendhang. Ricikan gamelannya kethuk, kempyang, kenong, kempul, gong, dan kecer.
4. Pemangku lagu
Artinya ricikan gamelan yang mendukung lagu atau melodi yang disajikan. Ricikan gamelannya gender barung, gender penerus, bonang penerus, slenthem, demung, saron barung, saron penerus, gambang, clempung/siter, dan suling.
5. Pengisi lagu
 Macam-macam instrumen gamelan
A. Sejarah Kebudayaan di Surakarta
1. Pendahuluan
Kota Surakarta adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Kota ini juga dikenal dengan nama Solo, Sala, dan Salakarta. Nama yang terakhir tidak dipakai lagi. Di Indonesia, Surakarta merupakan kota peringkat kesepuluh terbesar (setelah Yogyakarta). Sisi timur kota ini dilewati sungai yang terabadikan dalam salah satu lagu keroncong, Bengawan Solo. Kota ini dulu juga tempat kedudukan dari residen, yang membawahi Karesidenan Surakarta di masa awal kemerdekaan. Jabatan residen sekarang dihapuskan dan diganti menjadi pembantu gubernur untuk wilayah Surakarta. Kota Surakarta memiliki semboyan BERSERI yang merupakan akronim dari Bersih, Sehat, Rapi, dan Indah. Untuk kepentingan pemasaran pariwisata, Solo mengambil slogan pariwisata Solo the Spirit of Java yang diharapkan bisa membangun citra kota Solo sebagai pusat kebudayaan Jawa.
2. Sejarah Kebudayaan di Surakarta
a. Masa awal dan pra-Republik
Kota Surakarta didirikan pada tahun 1745, ditandai dengan dimulai pembangunan Keraton Mataram sebagai ganti keraton di Kartasura yang hancur akibat pemberontakan orang-orang Tionghoa melawan kekuasaan Paku Buwono (PB) II yang bertakhta di Kartasura pada tahun 1742. Pemberontakan ini bahkan mengakibatkan PB II menyingkir ke Ponorogo, Jawa Timur.
Dengan bantuan VOC, pemberontakan dapat ditumpas dan Kartasura direbut kembali, tapi keraton sudah hancur dan dianggap tercemar. Sunan Paku Buwono II lalu memerintahkan Tumenggung Honggowongso dan Tumenggung Mangkuyudo serta komandan pasukan Belanda J.A.B. van Hohendorff untuk mencari lokasi ibu kota Kesultanan Mataram yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, pada 1745, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo. Kelak namanya berubah menjadi Surakarta. Pembangunan keraton baru ini menurut catatan menggunakan bahan kayu jati dari kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri Kota dan kayunya dihanyutkan melalui sungai. Secara resmi, keraton mulai ditempati tanggal 17 Februari 1745 (Rabu Pahing 14 Sura 1670 Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya).
Berlakunya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) menyebabkan Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan rajanya PB III. Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, dengan rajanya Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono (HB) I). Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun pada 1755, dengan pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun.
Perjanjian Salatiga 1757 memperluas wilayah kota ini, dengan diberikannya wilayah sebelah utara keraton kepada pihak Pangeran Sambernyawa (Mangkoe Nagoro I). Sejak saat itu, Sala merupakan kota dengan dua sistem administrasi, yang berlaku hingga 1945, pada masa Perang Kemerdekaan Republik Indonesia (RI).
b. Masa Perang Kemerdekaan 1945-1949
Situasi di Solo (dan wilayah pengaruhnya) pada masa ini sangat menyedihkan. Terjadi sejumlah peristiwa politik yang menjadikan wilayah Solo kehilangan hak otonominya.
c. D.I. Surakarta dan Pemberontakan Tan Malaka
Begitu mendengar pengumuman tentang kemerdekaan RI, pemimpin Mangkunegaran (Mangkoe Nagoro VIII dan Susuhunan Sala (Paku Buwana XII) mengirim kabar dukungan ke Presiden RI Soekarno dan menyatakan bahwa wilayah Surakarta (Mangkunegaran dan Kasunanan) adalah bagian dari RI. Sebagai reaksi atas pengakuan ini, Presiden RI Soekarno menetapkan pembentukan propinsi Daerah Istimewa Surakarta (DIS).
Pada Oktober 1945, terbentuk gerakan swapraja/anti-monarki/anti-feodal di Surakarta, yang salah satu pimpinannya adalah Tan Malaka, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI). Tujuan gerakan ini adalah membubarkan DIS, dan menghapus Mangkunegaran dan Kasunanan. Gerakan ini di kemudian hari dikenal sebagai Pemberontakan Tan Malaka. Motif lain adalah perampasan tanah-tanah pertanian yang dikuasai kedua monarki untuk dibagi-bagi ke petani oleh gerakan komunis.
Tanggal 17 Oktober 1945, wazir (penasihat raja) Susuhunan, KRMH Sosrodiningrat diculik dan dibunuh oleh gerakan Swapraja. Hal ini diikuti oleh pencopotan bupati-bupati di wilayah Surakarta yang merupakan kerabat Mangkunegara dan Susuhunan. Bulan Maret 1946, wazir yang baru, KRMT Yudonagoro, juga diculik dan dibunuh gerakan Swapraja. Pada bulan April 1946, sembilan pejabat Kepatihan juga mengalami hal yang sama.
Karena banyaknya kerusuhan, penculikan, dan pembunuhan, maka tanggal 16 Juni 1946 pemerintah RI membubarkan DIS dan menghilangkan kekuasaan politik Mangkunegaran dan Kasunanan. Sejak saat itu keduanya kehilangan hak otonom menjadi suatu keluarga/trah biasa dan keraton/istana berubah fungsi sebagai tempat pengembangan seni dan budaya Jawa. Keputusan ini juga mengawali kota Solo di bawah satu administrasi. Selanjutnya dibentuk Karesidenan Surakarta yang mencakup wilayah-wilayah Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran, termasuk kota swapraja Surakarta. Tanggal 16 Juni diperingati setiap tahun sebagai hari kelahiran kota Surakarta.
Tanggal 26 Juni 1946 terjadi penculikan terhadap Perdana Menteri Sutan Syahrir di Surakarta oleh sebuah kelompok pemberontak yang dipimpin oleh Mayor Jendral Soedarsono dan 14 pimpinan sipil, di antaranya Tan Malaka, dari Partai Komunis Indonesia. Perdana Menteri Syahrir ditahan di suatu rumah peristirahatan di Paras. Presiden Soekarno sangat marah atas aksi pemberontakan ini dan memerintahkan polisi Surakarta menangkap para pimpinan pemberontak. Tanggal 1 Juli 1946, ke-14 pimpinan berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan. Namun, pada tanggal 2 Juli 1946, tentara Divisi 3 yang dipimpin Mayor Jendral Soedarsono menyerbu penjara Wirogunan dan membebaskan ke-14 pimpinan pemberontak.
Presiden Soekarno lalu memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto, pimpinan tentara di Surakarta, untuk menangkap Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak. Namun demikian Soeharto menolak perintah ini karena dia tidak mau menangkap pimpinan/atasannya sendiri. Beliau hanya mau menangkap para pemberontak kalau ada perintah langsung dari Kepala Staf militer RI, Jendral Soedirman. Presiden Soekarno sangat marah atas penolakan ini dan menjuluki Letkol Soeharto sebagai perwira keras kepala.
Tanggal 3 Juli 1946, Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil dilucuti senjatanya dan ditangkap di dekat Istana Presiden di Yogyakarta oleh pasukan pengawal presiden, setelah Letkol Soeharto berhasil membujuk mereka untuk menghadap Presiden Soekarno. Peristiwa ini lalu dikenal sebagai pemberontakan 3 Juli 1946 yang gagal. Perdana Menteri Syahrir berhasil dibebaskan dan Mayjen Soedarsono serta pimpinan pemberontak dihukum penjara walaupun beberapa bulan kemudian para pemberontak diampuni oleh Presiden Soekarno dan dibebaskan dari penjara.
d. Serangan Umum 7 Agustus 1949
Dari tahun 1945 sampai 1948, Belanda berhasil menguasai kembali sebagian besar wilayah Indonesia (termasuk Jawa), kecuali Yogyakarta, Surakarta dan daerah-daerah sekitarnya.
Pada Desember 1948, Belanda menyerbu wilayah RI yang tersisa, mendudukinya dan menyatakan RI sudah hancur dan tidak ada lagi. Jendral Soedirman menolak menyerah dan mulai bergerilya di hutan-hutan dan desa-desa di sekitar kota Yogyakarta dan Surakarta.
Untuk membantah klaim Belanda, maka Jendral Soedirman merencanakan Serangan Oemoem yaitu serangan besar-besaran yang bertujuan menduduki kota Yogyakarta dan Surakarta selama beberapa jam. Serangan Oemoem di Surakarta terjadi pada tanggal 7 Agustus 1949 dipimpin oleh Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Untuk memperingati peristiwa ini maka jalan utama di kota Surakarta dinamakan Jalan Slamet Riyadi.
Kepemimpinan Slamet Riyadi (yang gugur di pertempuran melawan gerakan separatis RMS) pada Serangan Umum ini sangat mengejutkan pimpinan tentara Belanda, yang sempat berkata Slamet Riyadi lebih pantas menjadi anaknya, ketika acara penyerahan kota Surakarta.
3. Geografi
Kota Surakarta terletak sekitar 65 km timur laut Yogyakarta dan 100 km tenggara Semarang. Lokasi kota ini berada di dataran rendah (hampir 100 m di atas permukaan laut) yang diapit Gunung Merapi di barat dan Gunung Lawu di timur. Agak jauh di selatan terbentang Pegunungan Sewu. Di sebelah timur mengalir Bengawan Solo dan di bagian utara mengalir Kali Pepe yang merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai Solo.
Tanah di Surakarta bersifat pasiran dengan komposisi mineral muda yang tinggi sebagai akibat aktivitas vulkanik kedua gunung api yang telah disebutkan di atas. Komposisi ini, ditambah dengan ketersediaan air yang cukup melimpah, menyebabkan dataran rendah ini sangat baik untuk budidaya tanaman pangan, sayuran, dan industri, seperti tembakau dan tebu. Namun demikian, sejak 20 tahun terakhir industri manufaktur dan pariwisata berkembang pesat sehingga banyak terjadi perubahan peruntukan lahan untuk kegiatan industri dan perumahan penduduk.
Surakarta berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah timur dan barat, dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah selatan.
4. Pembagian Administratif
Surakarta dibagi menjadi lima kecamatan. Setiap kecamatan dibagi menjadi kelurahan, lalu setiap kelurahan dibagi menjadi kampung-kampung yang kurang lebih setara dengan Rukun Warga.
Kecamatan di Surakarta:
a. Kecamatan Banjarsari
b. Kecamatan Jebres
c. Kecamatan Laweyan
d. Kecamatan Pasar Kliwon
e. Kecamatan Serengan
Surakarta dan kota-kota satelitnya (Kartasura, Solo Baru, Palur, Colomadu, Baki, Ngemplak) adalah kawasan yang saling berintegrasi satu sama lain. Kawasan Solo Raya ini unik karena dengan luas kota Surakarta sendiri yang hanya 44 km2 dan dikelilingi kota-kota penyangganya yang masing-masing luasnya kurang lebih setengah dari luas kota Surakarta dan berbatasan langsung membentuk satu kesatuan kawasan kota besar yang terpusat.

B. Macam-macam Kebudayaan di Surakarta
a. Batik
Batik berasal dari Jawa. Kata batik berasal dari 2 kata bahasa jawa, yaitu amba yang berarti menulis dan titik yang berarti titik. Jadi, batik berarti menuliskan titik. Batik berdasarkan cara pembuatannya ada 3 macam, yaitu batik tulis, batik cap, dan batik print. Cara pembuatan batik cap yaitu dengan meletakkan lilin di atas kain, tidak dengan canting, tapi dengan cap dari tembaga. Sedangkan cara pembuatan batik tulis:
1. Tahap pertama dari pembuatan batik yaitu ngetel/ngloyor. Kain dicuci dengan kanji perekat, kemudian diremas serta direndam dalam minyak jarak atau minyak kacang. Kemudian dijemur dan direndam lagi, lalu dijemur lagi.
2. Lalu, sesudah tahap pertama dilakukan ada tahap ngrengreng, yaitu ketika gambaran pertama dengan lilin cair dilukis di atas kain. Pembatik duduk di muka kain yang sedang dikerjakannya, menggoreskan canting yang mengalirkan lilin panas yang digoreskan sesuai dengan pola yang telah digambarkan. Karena itu, suhu lilin harus diatur benar supaya cairan lilin bisa mengalir dengan tepat. Kemudian nembok, yaitu bagian-bagian yang tidak boleh kena warna dasar, dengan lapisan lilin.
3. Selanjutnya dilakukan medel, yaitu pencelupan yang disertai dengan penjemuran dengan bantuan panas matahari. Setelah itu dilakukan ngesik/nglorod, yaitu membuang lilin dari bagian-bagian yang akan diberi warna soga (sawo matang) dengan cara memasukkan kain ke dalam air yang mendidih hingga lilinnya mencair kembali.
4. Tahap mbironi adalah tahap ketika bagian yang telah mendapat warna biru dan yang tidak boleh terkena soga ditutup lagi dengan lilin. Bagian yang ditutup dengan lilin ini juga diteruskan di bagian dalam kain. Setelah itu baru dilakukan menyoga, yaitu mencelup ke dalam zat berwarna coklat.
5. Setelah pencelupan dalam soga, maka kain siap dengan pemberian warnanya, dan seluruh lilin dapat dibuang.
Surakarta memiliki banyak corak batik khas, seperti Sidomukti dan Sidoluruh. Motif batik Sidomukti diciptakan dengan sebuah harapan dan doa agar si pemakai menjadi mukti atau mulia. Sementara itu, motif batik Sidoluhur dimaksudkan agar si pemakai senantiasa memliki pekerti yang luhur.

Gambar 1.1 motif batik Sidomukti Gambar 1.2 motif batik Sidoluhur
Pusat perdagangan batik Surakarta berada di Pasar Klewer.
b. Karawitan
Karawitan berasal dari kata rawit yang berarti halus, indah, atau rumit. Dalam bahasa jawa, kata karawitan khususnya dipakai untuk mengacu pada musik gamelan. Karawitan adalah seni suara yang bersistem slendro dan pelog baik vokal maupun instrumental.
Karawitan dibedakan menjadi 3, yaitu:
1. Karawitan Vokal
Vokal yaitu seni suara yang menggunakan suara manusia. Yang menghidangkan vokal dinamakan vokalis. Di dalam karawitan, vokalis pria disebut wiraswara, sedangkan vokalis wanita disebut swarawati atau pesindhen.
2. Karawitan instrumental
Instrumen dalam karawitan disebut ricikan. Kumpulan atau penyatuan ricikan-ricikan yang terdapat dalam karawitan tanpa memisahkan satu dengan lainnya disebut gamelan. Karawitan instrumental dibagi menjadi 2, yatu pakurmatan dan bonangan.
3. Karawitan vokal dan instrumental
Paduan atau campuran antara vokal dan instrumental dalam karawitan, disebut juga karawitan campuran. Di dalam karawitan campuran ini, vokal dan instrumental mempunyai kedudukan yang sama pentingnya, tidak boleh salah satunya lebih menonjol agar menghasilkan hidangan karawitan yang benar-benar kompak. Contohnya klenengan, iringan tari, iringan pedhalangan, dan sebagainya.
 Fungsi gamelan
1. Pamurba irama (pemimpin irama)
Artinya yang mengatur jalannya irama mulai buka sampai dengan suwuk (berhenti). Rincikan gamelannya adalah kendhang.
2. Pamurba lagu (pemimpin lagu)
Artinya ricikan gamelan yang bertugas untuk menentukan bagian lagu yang harus disajikan oleh ricikan gamelan lainnya. Ricikan gamelannya rebab dan bonang barung.
3. Pemangku irama (pemantap irama)
Artinya ricikan gamelan yang mendukung jalannya irama mengikuti alur irama dari kendhang. Ricikan gamelannya kethuk, kempyang, kenong, kempul, gong, dan kecer.
4. Pemangku lagu
Artinya ricikan gamelan yang mendukung lagu atau melodi yang disajikan. Ricikan gamelannya gender barung, gender penerus, bonang penerus, slenthem, demung, saron barung, saron penerus, gambang, clempung/siter, dan suling.
5. Pengisi lagu
 Macam-macam instrumen gamelan
No Nama ricikan Cara membunyikan Alat pemukul
1. Rebab Digesek Tanpa alat pemukul
2. Kendhang Dikebuk Tanpa alat pemukul
3. Gender Barung Ditabuh Dua alat pemukul
4. Gender Penerus Ditabuh Dua alat pemukul
5. Bonang Barung Ditabuh Dua alat pemukul
6. Bonang Penerus Ditabuh Dua alat pemukul
7. Slenthem Ditabuh Satu alat pemukul
8. Saron Demung Ditabuh Satu alat pemukul
9. Sarun Barung Ditabuh Satu alat pemukul
10. Saron Penerus Ditabuh Satu alat pemukul
11. Kethuk-kempyang Ditabuh Satu alat pemukul
12. Kempul Ditabuh Satu alat pemukul
13. Gong Ditabuh Satu alat pemukul
14. Kenong Ditabuh Satu alat pemukul
15. Siter/clempung Dipetik Tanpa alat pemukul
16. Gambang Ditabuh Dua alat pemukul
17. Suling Ditiup Tanpa alat pemukul
18. Wiraswara - -
Bahan gamelan yang baik terbuat dari perunggu.
 Pengertian nada dan titi laras
Nada adalah suara atau bunyi yang teratur tinggi rendahnya, dan nada merupakan unsur pokok terwujudnya lagu atau gendhing, karena nada terjadi dari suara, maka hanya bisa didengar dan tidak bisa dilihat. Agar mudah mempelajarinya, nada dapat disimbolkan atau dilambangkan dengan titilaras atau notasi. Maka, nada dan titilaras merupakan satu kesatuan.
Titilaras adalah tulisan atau tanda untuk menyatakan atau melambangkan nada dalam karawitan. Karena laras dalam gamelan ada 2 macam, yaitu laras slendro dan pelog, maka ada gamelan laras slendro dan gamelan laras pelog. Jarak nada (sruti) antara kedua laras tersebut berbeda, sehingga bunyi nada laras slendro berbeda dengan bunyi nada laras pelog.
Nama nada atau titilaras slendro:
Urutan Nama nada Dibaca
ke-1 Siji/Barang ji
ke-2 Loro/Gulu ro
ke-3 Telu/Dhada lu
ke-5 Lima/Lima ma
ke-6 Enem/Enem nem

Nama nada atau titilaras pelog
Urutan Nama nada Dibaca
ke-1 Siji/Panunggul ji
ke-2 Loro/Gulu ro
ke-3 Telu/Dhada lu
ke-4 Papat/Pelog pat
ke-5 Lima/Lima ma
ke-6 Enem/Enem nem
ke-7 Pitu/Barang pi

Titilaras untuk instrumen kendhang:
t : dibaca tak, dikebuk pada kendhang ketipung sebelah kiri samping kiri tengah.
P : dibaca thung, dikebuk pada kendhang ketipung sebelah kanan tepi.
• : dibaca tong, dikebuk pada kendhang ketipung sebelah kiri tepi.
b : dibaca dhah, dikebuk pada kendhang gedhe sebelah kanan tepi.
L : dibaca lung/lang.
+ : ket
 Bentuk-bentuk gendhing
Gendhing atau struktur lagu di dalam karawitan dibagi dalam 3 golongan, yaitu: gendhing alit, gendhing madya, dan gendhing ageng.
Yang tergolong dalam gendhing alit:
1. Lagu dolanan
2. Ayak-ayakan, Srepegan, Sampak, dan Kemuda
3. Lancaran
4. Ketawang
5. Ladrang
 Tanda-tanda dan istilah-istilah dalam karawitan
Yang berhubungan dengan nama nada:
1. Kethukan/tempat nada pertama disebut dengan istilah dhing kecil.
2. Kethukan/tempat nada kedua disebut dengan istilah dhong kecil.
3. Kethukan/tempat nada ketiga disebut dengan istilah dhing besar.
4. Kethukan/tempat nada keempat disebut dengan istilah dhong besar.
Keempatnya disebut dengan satu gatra
Contohnya: • • • •
dhing kecil dhong kecil dhing besar dhong besar

Tanda-tanda yang digunakan pada instrumen gamelan:
1. + : tanda untuk tabuhan kethuk, penulisannya di bawah tanda ketukan/tempat nada.
2. – : tanda untuk tabuhan kempyang, penulisannya di bawah tanda ketukan/tempat nada.
3.  : tanda untuk tabuhan kenong, penulisannya di atas tanda ketukan/tempat nada.
4. V : tanda untuk tabuhan kempul, penulisannya di atas tanda ketukan/tempat nada.
5. O : tanda untuk tabuhan gong, penulisannya melingkari nada.



c. Tari
Tari di dalam bahasa jawa disebut juga joged atau beksa. Pengertian beksa dari kata Hambeksa terdiri atas kata Hambek yang artinya sawiji dan Esa yang artinya Tuhan Yang Maha Esa, intinya segala sesuatu yang akan dikerjakan hendaknya selalu memohon berkat dari Tuhan. Maka, kebanyakan tari jawa, khususnya tari tradisi Surakarta selalu diawali dengan gerak sembahan (mangenjali), maksudnya jika akan melakukan sesuatu harus selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Istilah lain seni tari yaitu Lenggot Bowo. Lenggot artinya gerak, sedangkan Bowo artinya suara atau musik/iringan. Jadi, Lenggot Bowo berarti gerak wiraga yang diiringi dengan iringan/tabuhan yang berirama.
 Gerak dasar tari gaya Surakarta (Rantaya)
Rantaya berasal dari kata paran (apa) dan taya (mataya, tari). Sumber lain ada yang menyatakan bahwa Rantaya berasal dari kata rante dan taya yang artinya di dalam rantaya ada sebuah gerakan belajar berjalan atau di dalam istilah tari dinamakan Lumaksana. Pada prisipnya, 3 unsur pokok pembelajaran tari jawa:
1. Wiraga : melatih untuk dapat melakukan dan menguasai bentuk gerak anggota badan.
2. Wirama : melatih kepekaan dan penguasaan gerak dengan iringan.
3. Wirasa : melatih diri dalam penguasaan karakter/watak tari.
Jenis Rantaya dibagi menjadi 3 macam:
1. Rantaya putri
Macam geraknya:
a) Trapsilantaya (duduk bersila)
b) Nikelwarti (Jengkeng)-Sembahan (Mangenjali)
c) Lumaksana Lembehan Kanan
d) Lumaksana Ridhong Sampur
e) Lumkasana Nayung
f) Lumaksana Keputren
g) Gerak penghubung: sindhet kiri (4 hitungan), ngigel (8 hitungan), sabetan (12 hitungan), ombak banyu (12 hitungan), dan srisig (4/8/12 hitungan).
2. Rantaya putra alus
Macam geraknya:
a) Trapsilantaya (duduk bersila)
b) Nikelwarti (Jengkeng)-Sembahan (Mangenjali)
c) Lumaksana Dhadap Hanuraga
d) Lumaksana Dhadap Impuran
e) Lumkasana Bang-bangan/Bambangan
f) Lumaksana Nayung
g) Gerak penghubung: besut (4 hitungan), ngigel (8 hitungan), sabetan (12 hitungan), ombak banyu (12 hitungan), dan srisig (4/8/12 hitungan).
3. Rantaya putra gagah
Macam geraknya:
a) Trapsilantaya (duduk bersila)
b) Nikelwarti (Jengkeng)-Sembahan (Mangenjali)
c) Lumaksana Kambeng
d) Lumaksana Kalang Tinantang
e) Lumkasana Bapang
f) Gerak penghubung: besut (4 hitungan), sabetan (12 hitungan), srisig (12 hitungan), dan ombak banyu (12 hitungan)
 Macam-macam gerak tari gaya Surakarta
1. Gerak kepala dan leher
Macamnya: pacak gulu, gedheg, lenggut, tolehan (900, 450, 220, 00=pajeg/lurus ke depan), gebes, mbantheng gambul, pacak gulu ula nglangi, pacak gulu banyak slulup, dan sebagainya.
2. Gerak tangan
Macamnya: ukel karno, ukel manis, seblak sampur, ulap-ulap tawing, ukel pakis, dan sebagainya.
Bentuk tangan dan jari tangan:
a) Nyempurit : ibu jari tangan menempel pada bagian tengah jari tengah.
b) Ngrayung : keempat jari tangan rapat lurus ke atas, ibu jari ditekuk menempel telapak tangan.
c) Kepelan : kelima jari tangan mengepal.
d) Naga Rangsang : keempat jari tangan rapat lurus ke atas, ibu jari dengan jari telunjuk membentuk sudut 900.
Ukuran tangan: putri (trap cethik), putra alus (trap dhada), putra gagah (trap pundhak).
3. Gerak kaki
a) Debeg dan gejug : telapak kaki depan dihentakkan ke lantai dilanjutkan dengan posisi kaki jinjit dihentakkan di belakang tumit.
b) Kengser : kedua kaki bergeser ke samping kanan atau kiri.
c) Mendhak : kedua lutut ditekuk menghadap keluar.
d) Junjungan : kaki diangkat setinggi betis (untuk tari putra alus), kaki diangkat setinggi lutut (untuk tari putra gagah).
e) Tanjak : sikap berdiri menyesuaikan karakter peranan.
f) Seredan : seredan polok/mata kaki digunakan apabila akan tanjak putra alus/lanyap, seredan jempol/ibu jari kaki digunakan apabila akan berjalan/lumaksana.
g) Kicat : mengangkat kaki setinggi betis di belakang kaki depan dengan arah telapak kaki serong/menghadap keluar.
h) Trecet : posisi kedua kaki mendhak, telapak kaki jinjit lalu bergeser ke kanan atau ke kiri.
i) Srisig : berjalan memutar kecil-kecil dengan posisi kedua telapak kaki jinjit.
4. Gerak badan
a) Ogek lambung
b) Entragan
 Pembagian karakter tari gaya Surakarta
1. Tari putri
a) Karakter putri luruh/alus
Contohnya: tari Bedhaya, tari Srimpi, tari Kelaswara.
b) Karakter putri lanyap
Contohnya : tari Kukila, tari Merak, tari Srikandhi Mustakaweni, tari Kidang.
2. Tari putra alus
a) Karakter putra alus luruh
Contohnya: tari Pamungkas, tari Gunungsari.
b) Karakter putra alus lanyap
Contohnya: tari Menakkoncar, tari Gambiranom, tari Bromastra, tari Kiprah Dewakumara.
3. Tari putra gagah
a) Karakter putra gagah dugangan
Contohnya: tari Eko Prawiro, tari Klana, tari Prawiraguna, tari Prawira Watang, tari Anoman Cakil.
b) Karakter putra gagah agal
Contohnya: tari Garudha Yaksa, tari Anoman Kathaksini.
d. Wayang
Cerita wayang purwa di Indonesia sumbernya berasal dari India, yakni terdapat dalam buku Ramayana dan Mahabarata. Menurut keterangan para ahli India, kedua buku tersebut merupakan buku sejarah, sebab cerita yang termuat di dalam buku-buku itu memang dulunya benar-benar terjadi dan ada di India. Ada yang menerangkan sebagai berikut:
1. Alengka, yaitu sebuah negara dengan Rahwana sebagai raja, sekarang bernama Srilanka.
2. Mandaraka yaitu sebuah negara dengan Prabu Salya sebagai raja, sekarang bernama Madras.
3. Indraprasta, yaitu sebuah negara dengan Prabu Yudhistira sebagai raja, sekarang bernama Delhi.
Walaupun cerita wayang Indonesia bersumber pada buku Ramayana dan Mahabarata, tetapi tidak berarti bangsa Indonesia mengutip isi kedua buku tersebut. Di Indonesia, isi kedua buku tersebut diolah para empu sehingga menjadi lebih indah serta memuat kias hidup manusia dari lahir hingga mati. Karena pandainya dalam mengolah kedua buku tersebut, orang India sendiri tidak mengira bahwa cerita wayang di Indonesia itu sebenarnya gubahan dari buku Ramayana dan Mahabarata. Macam-macam wayang di Indonesia:
1. Wayang purwa
Disebut juga wayang kulit, karena terbuat dari kulit lembu. Penyaduran sumber cerita dari Ramayana dan Mahabarata ke dalam bahasa jawa kuno dilakukan pada masa Raja Jayabaya. Pujangga yang terkenal pada waktu itu Empu Sedah, Empu Panuluh, dan Empu Kanwa. Sunan Kalijaga, salah seorang walisanga dari Demak pada abad 15 merupakan orang yang pertama kali menciptakan wayang dengan bahan dari kulit lembu. Dalang wayang kulit yang terkenal misalnya Ki Nartosabdo, Ki Haji Anom Suroto, dan Ki Timbul Hadiprayitno. Tokoh-tokohnya Pandawa dan Kurawa. Bentuk iringannya gamelan laras slendro dan pelog. Model penyajiannya semalam suntuk, ringkas, dan padat.
2. Wayang golek
Disebut juga wayang tengul. Wayang ini terbuat dari kayu dan diberi baju seperti manusia. Wayang ini banyak berkembang di Jawa Barat. Sumber ceritanya diambil dari sejarah, misalnya Untung Suropati, Batavia, Sultan Agung, Banten, Trunojoyo, dan lain-lain. Cerita wayang golek juga dapat mengambil dongeng-dongeng dari Arab. Tokoh-tokoh wayang golek yaitu Pandawa dan Kurawa. Iringannya gamelan sunda. Bentuk penyajiannya semalam suntuk dan padat. Pementasan wayang golek tidak menggunakan kelir atau layar seperti wayang kulit, namun disungging.
3. Wayang klithik
Wayang klithik terbuat dari kayu, bentuknya sama dengan wayang kulit. Disebut juga wayang krucil. Sumber ceritanya mengambil dari Babad Blambangan dan Majapahit. Untuk menancapkan wayang klithik tidak dipakai batang pisang seperti wayang kulit, tetapi menggunakan kayu yang diberi lubang-lubang. Tokoh-tokohnya antara lain Ratu Ayu Kencana Wungu, Dewi Anjasmara, Raden Damarwulan, dan lain-lain.
4. Wayang beber
Terbuat dari kain atau kulit lembu yang berupa beberan. Tiap beberan merupakan satu adegan cerita. Bila sudah tidak dimainkan, beberan itu digulung lagi. Sumber ceritanya mengambil dari Babad Jenggala dan Kediri. Tokoh-tokohnya antara lain Panji Inukartapati, Dewi Sekartaji, Panji Semirang, dan lain-lain. Iringan menggunakan gamelan pelog.
5. Wayang gedog
Bentuknya hampir sama dengan wayang kulit. Sumber ceritanya diambil dari cerita raja-raja di Jawa, seperti Banten, Singasari, Mataram, Kediri, dan lain-lain. Wayang gedog sekarang hampir tidak ada. Wayang tersebut hanya dapat dijumpai di museum-museum. Dibuat sekitar tahun 1400 oleh Sunan Giri. Tokoh-tokohnya antara lain Raden Panji Asmarabangun, Panji Semirang, Dewi Galuh Candrakirana, dan lain-lain.
6. Wayang kancil
Wayang ini menceritakan kehidupan binatang. Wayang kancil diciptakan oleh orang tionghoa yang bernama B.O. Lim pada tahun 1924.
7. Wayang menak
Tujuan pementasan wayang ini untuk media penyebaran agama Islam. Bahan bakunya seperti wayang golek. Sumber ceritanya adalah serat menak. Wayang ini diciptakan oleh Trunadipa dari Batu Retna, Wonogiri. Tokoh-tokohnya antara lain Wong Agung Jayengrana, Umar Madi, Dewi Rengganis, dan lain-lain. Pementasannya diiringi oleh gamelan pelog.
8. Wayang madya
Diciptakan oleh KGPAA Mangkoe Nagoro IV pada awal abad 18. Bahan bakunya terbuat dari kulit kerbau yang ditatah dan disungging. Sumber ceritanya mengambil cerita dari keturunan Pandawa, misalnya Prabu Parikesit dan masa permulaan Jayalengka.
9. Wayang wahyu
Pakem ceritanya diambil dari kitab Injil dengan cerita-cerita tertentu. Diciptakan oleh Bruder Temotheos untuk menyiarkan agama Katolik. Sumber ceritanya mengambil dari babad Kitab Suci Perjanjian Lama dan Baru. Wayang wahyu sering disebut sebagai wayang bibel. Bahan bakunya kulit kerbau yang ditatah dan disungging. Tokoh-tokohnya antara lain Maria, Yusuf, Musa, dan lain-lain.
10. Wayang orang
Cerita wayang yang dipanggungkan dengan pemeran orang-orang dewasa dengan drama tari berkelompok menggunakan dialog dan tembang disebut wayang orang. Sumber ceritanya seperti halnya wayang purwa, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Tokoh-tokohnya antara lain Pandawa dan Kurawa. Iringan menggunakan gamelan laras slendro dan pelog. Perkumpulan wayang orang terkenal misalnya di Sriwedari.

C. Perayaan dan Festival Kebudayaan di Surakarta
1. Grebeg
Menurut tradisi, Keraton Surakarta dalam setahunnya melangsungkan tiga kali upacara yang berhubungan dengan agama Islam yang disebut Grebeg. Tiga macam grebeg tersebut:
1. Grebeg Mulud yang jatuh pada 12 Rabiulawal untuk memperingati lahirnya Nabi Muhammad S.A.W.
2. Grebeg Pasa yang jatuh pada 1 Syawal untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri.
3. Grebeg Besar yang jatuh pada 10 Dzulhijah untuk merayakan Hari Raya Idul Adha.
Pada hari-hari tersebut, raja mengeluarkan sedekahnya sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan atas kemakmuran kerajaan. Sedekah ini, yang disebut dengan Hajad Dalem, berupa pareden/gunungan yang terdiri dari gunungan kakung (lelaki) dan gunungan estri (perempuan).
Gunungan kakung berbentuk seperti kerucut terpancung dengan ujung sebelah atas agak membulat. Sebagian besar gunungan ini terdiri dari sayuran kacang panjang yang berwarna hijau yang dirangkaikan dengan cabai merah, telur itik, dan beberapa perlengkapan makanan kering lainnya. Di sisi kanan dan kirinya dipasangi rangkaian bendera Indonesia dalam ukuran kecil.
Gunungan estri berbentuk seperti keranjang bunga yang penuh dengan rangkaian bunga. Sebagian besar disusun dari makanan kering yang terbuat dari beras maupun beras ketan yang berbentuk lingkaran dan runcing. Gunungan ini juga dihiasi bendera Indonesia kecil di sebelah atasnya.
2. Sekaten
Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh hari. Konon, asal-usul upacara ini sejak kerajaan Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. Menurut cerita rakyat, kata Sekaten berasal dari istilah dalam agama Islam, Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan Sekati, Kyai Gunturmadu dan Kyai Guntursari, dari keraton untuk ditempatkan di depan Masjid Agung Surakarta. Selama enam hari, mulai hari keenam sampai kesebelas bulan Mulud dalam kalender Jawa, kedua perangkat gamelan tersebut dimainkan untuk menandai perayaan sekaten. Akhirnya, pada hari ketujuh upacara ditutup dengan keluarnya Gunungan Mulud. Saat ini, selain upacara tradisi seperti itu juga diselenggarakan suatu pasar malam yang dimulai sebulan sebelum penyelenggaraan upacara sekaten yang sesungguhnya.
3. Malam satu suro
Malam satu suro dalam masyarakat Jawa adalah suatu perayaan tahun baru menurut kalender Jawa. Malam satu suro jatuh mulai terbenam matahari pada hari terakhir bulan terakhir kalender Jawa (30/29 Besar) sampai terbitnya matahari pada hari pertama bulan pertama tahun berikutnya (1 Suro).
Di Pura Mangkunegaran, acara dimulai pada sekitar pukul 19.00. Saat itu dilakukan jamasan (pencucian) benda pusaka, kemudian dikirabkan keliling Pura Mangkunegaran.
Di Keraton Surakarta, upacara ini diperingati dengan Kirab Mubeng Beteng (Perarakan Mengelilingi Benteng Keraton). Upacara ini dimulai dari kompleks Kemandungan utara melalui gerbang Brojonolo kemudian mengitari seluruh kawasan keraton dengan arah berkebalikan arah putaran jarum jam dan berakhir di halaman Kemandungan utara. Dalam prosesi ini, pusaka keraton menjadi bagian utama dan diposisikan di barisan depan, kemudian baru diikuti para pembesar keraton, para pegawai dan akhirnya masyarakat. Yang unik adalah di barisan terdepan ditempatkan pusaka yang berupa sekawanan kerbau albino yang diberi nama Kyai Slamet yang selalu menjadi pusat perhatian masyarakat.
4. Wiyosan Jumenengan SP. KGPAA Mangkoe Nagoro IX
Peringatan naik tahta Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati (KGPAA) Mangkoe Nagoro (MN) IX, Penguasa Pura Mangkunegaran Solo. Digelar tarian sakral Bedaya Anglir Mendung. Sehari sebelumnya dilakukan wilujengan selametan.Dilaksanakan pada bulan Januari di Pura Mangkunegaran.
5. Peringatan Adeging Nagari Surakarta Hadiningrat
Merupakan peringatan berdirinya Negara Surakarta. Nagari Surakarta berdiri sejak tahun 1745. Acara diantaranya adalah pembacaan riwayat singkat kepindahan keraton dari Kartasura ke desa Sala dalam tembang Macapat diikuti kenduri. Dilaksanakan pada bulan Januari di Keraton Kasunanan Surakarta.
6. Grebeg Sudiro
Acara ini digelar untuk memeriahkan Tahun Baru Imlek. Sebuah gunungan yang terdiri dari ribuan kue keranjang dikirabkan di sekitar Pasar Gede Solo. Puluhan peserta berbusana tradisional Jawa dan Tionghoa mengiringi dengan membawa lampion. Acara dimeriahkan pula dengan penampilan liong, barongsay dan kesenian lainnya bertempat di kawasan Pasar Gede.

7. Mahesa Lawung
Ritual adat Keraton Kasunanan Surakarta untuk memohon keselamatan dan supaya terhindar dari segala macam marabahaya. Acara digelar pada bulan April di Hutan Krendowahono, Karanganyar.
8. Wiyosandalem Tingalan Jumenengan PB XIII
Upacara peringatan kenaikan tahta SISKS Paku Buwono XIII. Dalam acara ini dipergelarkan tarian sakral Bedhaya Ketawang, yang tidak semua penari bisa melakukannya. Pada saat itu biasanya juga dilakukan pemberian gelar kebangsawanan kepada orang-orang yang dianggap berjasa kepada Keraton Surakarta. Dilaksanakan pada bulan Juli di Keraton Surakarta.
9. Keraton Festival
Festival yang mempertunjukkan warisan budaya Keraton yang tangible (koleksi pusaka, peninggalan artefak, dan lain-lain) serta yang intangible (upacara adat, tarian, musik tradisional, dan lain-lain). Dilaksanakan pada bulan Juli di Keraton Surakarta
10. Kirab Apem Sewu
Kirab yang digelar warga Kampung Sewu, Jebres. Sebuah kawasan di tepian Bengawan Solo. Ada 1000 apem yang dikirabkan (diarak) di sekeliling kampung. Apem-apem itu diusung dalam berbagai wadah dan bentuk. Setelah didoakan, apem-apem tersebut kemudian dibagikan kepada warga, karena dipercaya membawa berkah. Dilaksanakan pada bulan November.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda